ARTI
DAN TUJUAN MANAJEMEN KINERJA
Istilah Manajemen Kinerja
adalah terjemahan dari Performance Management. Menurut Ruky (2004),
ditinjau dari bunyi kalimatnya, Manajemen Kinerja berkaitan dengan usaha,
kegiatan atau program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan
organisasi untuk merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi kerja
karyawan. Karena program ini mencantumkan kata manajemen, maka seluruh kegiatan
yang dilakukan dalam “proses manajemen”
harus terjadi dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai, kemudian tahap pembuatan rencana, pengorganisasian,
penggerakan/pengarahan dan akhirnya evaluasi atas hasilnya.
Bacal (2001) mendefinisikan Manajemen Kinerja
sebagai proses komunikasi berkesinambungan yang dilaksanakan berdasarkan
kemitraan antara karyawan dan atasan langsungnya. Terciptanya komunikasi dua
arah ini menjadi cara untuk bekerjasama meningkatkan kinerja dan sekaligus
mencegah munculnya kinerja buruk.
Baik Ruky maupun Bacal
berpendapat, bahwa bagian yang paling penting dalam Manajemen Kinerja adalah
perencanaan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan dalam Manajemen
Kinerja ini adalah menetapkan tujuan atau sasaran. Atasan dan masing-masing
bawahan harus mengidentifikasi tujuan atau sasaran yang hendak mereka capai,
yaitu kinerja dalam bentuk apa dan yang seperti bagaimana yang ingin dicapai.
Dan karena yang menjadi objek adalah kinerja manusia, maka bentuk yang paling
umum tentunya adalah kinerja dalam bentuk “produktivitas” SDM.
Ruang
Lingkup Program Manajemen Kinerja
Program manajemen Kinerja ini
ruang kingkupnya cukup besar. Ia bersifat menyeluruh atau menggarap semua
bagian/fungsi dari sebuah organisasi. Program ini menjamah semua elemen, unsur
atau input yang harus didayagunakan oleh organisasi untuk meningkatkan kinerja
organisasi tersebut, bukan hanya manusia. Elemen-elemen tersebut adalah
teknologi (peralatan, metode kerja) yang digunakan, kualitas dari input
(termasuk material), kualitas lingkungan fisik (keselamatan, kesehatan kerja,
lay-out temapt kerja dan kebersihan), iklim dan budaya organisasi serta
kompensasi dan imbalan. Kegiatan dengan ruang lingkup seperti tersebut diatas
merupakan sebuah proyek besar dan melibatkan hampir semua orang, dan harus
ditangani langsung oleh pemimpin puncak organisasi. Beberapa tim “adhoc” baik
yang terdiri dari “orang dalam” dan/atau konsultan diberi tugas khusus untuk
membantu pemimpin melakukan penelitia-penelitian membuat rancangan sampai
menangani proyek-proyek khusus.
Dari uraian diatas dapat kita
simpulkan, bahwa program manajemen kinerja pada dasarnya adalah sebuah proses
dalam MSDM. Selain itu penggunaan istilah “manajemen” mempunyai implikasi,
bahwa kegiatan tersebut harus dilaksanakan sebagai proses manajemen umum, yang
dimulai dengan penetapan sasaran dan di akhiri dengan evaluasi. Proses tersebut
pada garis besarnya terdiri dari lima kegiatan utama yaitu:
·
Merumuskan
tanggung jawab dan tugas yang harus dicapai oleh karyawan dan rumusan tersebut
disepakati bersama.
·
Menyepakati
sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai oleh karyawan untuk kurun
waktu tertentu. Termasuk dalam tahap ini adalah penetapan standar prestasi dan
tolak ukurnya.
·
Melakukan
“monitoring”, melakukan koreksi, memberikan kesempatan dan bantuan yang
diperlukan bawahan.
·
Menilai
prestasi karyawan tersebut dengan cara membandingkan prestasi yang dicapai
dengan standar atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam tahap
penilaian ini harus tercakup pula kegiatan mengidentifikasi bidang-bidang yang
ada dan dirasakan terdapat kelemahan pada orang yang dinilai.
·
Memberikan
umpan balik pada karyawan yang dinilai dengan seluruh hasil penilaian yang
dilakukan. Disini juga dibicarakan cara-cara untuk memperbaiki kelemahan yang
telah diketahui dengan tujuan meningkatkan prestasi kerja pada priode
berikutnya.
Manfaat
Program Manajemen Kinerja
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh
organisasi dengan menerapkan Sistem Manajemen Kinerja yaitu:
1. Dapat meningkatkan prestasi kerja
karyawan, baik secara individu maupun
kelompok, karena disini atasan dan bawahan diberi kesempatan untuk
memenuhi aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan dengan
menetapkan sendiri sasaran kerja dan standar prestasi yang harus dicapai dalam
kurun waktu tertentu.
2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi
karyawan secara perorangan pada akhirnya akan mendorong kinerja sumber daya
manusia secara keseluruhan yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas.
3. merangsang minat dalam pengembangan
pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi pribadi serta
potensi karyawan dengan cara memberikan umpan balik pada mereka tentang
prestasi kerjanya.
4. membantu perusahaan untuk dapat menyusun
program pengenbangan dan pelatihan karyawan yang lebih tepat guna. Dan nantinya
diharapkan usaha ini akan membantu perusahaan untuk mempunyai pasokan tenaga
yang cakap dan terampil yang cukup untuk pengembangan perusahaan di masa depan.
5. menyedikan alat/sarana untuk mebandingkan
prestasi kerja karyawan denagn tingkat imbalan/gajinya sebagai bagian dari
kebijakan dan system imbalan yang baik.
6. memberikan kesempatan kepada karyawan
untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaan atau hal-hal yang berkaitan
dengannya. Dengan demikian jalur komunikasi dan dialog akan terbuka sehingga
dapat diharapkan bahwa proses penilaian prestasi kerja akan mengeratkan
hubungan antara atasan dan bawahan.
Dari manfaat yang diuraikan
diatas, dapat dijelaskan bahwa program Manajemen Kinerja akan membantu
organisasi/perusahaan untuk merencanakan dan melaksanakan program-program lain
dengan lebih tepat dan baik, seperti misalnya untuk:
·
penyusunan
program pelatihan dan pengembangan karyawan. Dengan melaksanakan Manajemen
Kinerja dapat diketahui dan diidentifikasi pelatihan tambahan apa saja yang
harus diberikan kepada karyawan untuk membantu agar mampu mencapai standar
prestasi yang ditetapkan.
·
Penyusunan
program susksesi dan kaderisasi. Dengan melaksanakan manajenem kinerja juga
dapat diidentifikasi siapa saja karyawan yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan kariernya dan dicalonkan unutk menduduki jabatan-jabatan yang
starategis.
·
Pembinaan
karywan. Pelaksanaan manajemen kinerja juga dapat menjadi sasaran untuk
meneliti hambatan karyawan untuk meningkatkan prestasi kerjanya. Bila ternyata
hambatannya bukan kemampuan, tetapi kemauan (motivasi), maka program pembinaan
dapat dilakukan secara langsung, misalnya dengan memberikan konseling oleh
atasannya atau seorang konselor yang ditunjuk perusahaan.
Kendala
dalam penerapan Manajemen Kinerja
berbasis MBS
Dalam menerapkan manajemen kinerja ada beberapa
kendala yang perlu kita ketahui, yaitu:
1.
perlu
perubahan mendasar dalam budaya organisasi. Manajemn kinerja berbasis MBS hanya
bisa sukses bilamana diteriama sebagai “budaya’ organisasi dalam arti yang
luas-luasnya. Manajemen kinerja harus sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan
dan cara kerja yang dianggap sangat
membantu mereka untuk sukses. Semua anggota organisasi harus punya
perasaan memiliki system kerja tersebut.
Untuk itu diperlukan komitmen penuh dari
seluruh jajaran manajemen dan divisi sumberdaya manusia yang harus terus
menerus memantau penerapannya.
2.
penolakan
diam-diam dari manajer dan karyawan. Masalah ini masih terkait erat dengan
aspek budaya, baik budaya nasional maupun organisasi. Menurut hasil penelitian
dan pengamatan pakar dan praktisi menejemen, salah astu aspek budaya Indonesia
yang menghambat kemajuan bangsa ini dan pengembangan karir individu yang
berkiprah dalam organisasi adalah masih
rendahnya penghargaan terhadap prestasi individu. Dalam organisasi besar termasuk
perusahaan (misalnya BUMN) telah menjadi suatu kesepakatan (nilai) yang tidak
tertulis, bahwa’hubungan (dengan atasan) yang baik adalah lebih penting
daripada prestasi kerja”. Oleh karena itu, setiap usaha mengukur prestasi
secara obyektif dan terbuka selalu mengakibatkan kegelisahan dan usaha
penghindaran. Masih terkait dengan hal itu, adalah bahwa keharusan untuk
melakukan pembicaraan terbuka antara atasan bawahan tentang kinerja bawahan
juga mengakibatkan situasi yang sama. Sistem nilai feodalistik yang masih
kental menjurus pada gaya kepemimpinan “benevolen autokratik” dimana atasan
harus dianggap ”bapak” dan bawaha harus selalu tergantung kepada atasan.
Kondisi tersebut dapat mengubah wacana konseling menjadi dialog satu arah dimana atasan membei
“pengarahan” /wejangan kepada bawahan yang hanya mengangguk angguk dan mengucapkan terima
kasih (karena yang penting gaji naik dan dapat bonus).
3.
fokus
Manajemen kinerja yang berjangka pendek. Apabila MBS hanya diterapkan sebagai
dasar bagi manajemen kinerja seringkali tidak dikaitkan dengan tujuan jangka
panjang dan sasaran jangka pendek bagi perusahaan secara keseluruhan, yang
menjadi keinginan dan tanggung jawab” pemimpin puncak”. Dalam kenyataannya, ini
adalah salah satu kelemahan terbesar dari pengguanaan MBS sebagai dasar untuk
manajemen kinerja. Pimpinan puncak mempunyai tujuan, sasaran, rencana kerja dan
agenda sendiri, tetapi pada jajaran dibawahnya masing-masing menetapkan sasaran
kerja sendiri yang mungkin tidak sejalan dengan tujuan dan sasaran yang
ditetapkan oleh pimpinan puncak. Akibatnya dapat terjadi bahwa mayoritas
karyawan mencapai sasaran masing-masing, tetapi perusahaannya mengalami
kerugian paling atau paling sedikit tidak mencapai sasaran yang diinginkan.
Oleh karena itu, walaupun perusahan mungkin tidak ingin terlihat menerapkan MBS
secara keseluruhan dan hanya ingin menerapkan manajemen kinerja yang berbasis
sasaran kerja individu (SKI) seharusnya sasaran-sasaran yang dibuat oleh setiap
jajaran organisasi sejalan dengan sasaran perusahaan. Mekanisme dan sistemnya
harus dipikirkan oleh pimpinan puncak dan divisi sumber daya manusia.
4.
keberhasilan
beberapa pekerjaan/jabatan hanya dapat diukur setelah dua sampai lima tahun.
Penetapan sasaran kerja/target jangka pendek seperti ditunjuk oleh Manjemen Kinerja berdasarkan
MBS belum tentu tepat untuk jabatan-jabatan tertentu. Untuk beberapa jabatan
mungkin tidak tepat menetapkan sasaran jangka pendek,. karena orientasinya
adalah pada hasil jangka panjang. Contohnya adalah pada bidang Research and
Development yang melakukan penelitian
dan pengembangan pruduk yang outputnya
tidak dapat di tetapkan jangka waktu.
Ada Produk yang mungkin baru dapat selesai pengembangannya setelah 18 bulan
atau 2 tahun.
5.
tidak
semua sasaran kerja dapat dirumuskan secara kuantitatif. Untuk beberapa bidang
tertentu ada kesulitan menetapkan sasaran kerja yang mempunyai standar-setandar
prestasi dalam ukuran kuantitatif atau angka. Misalnya untuk bidang keuangan,
akutansi, hukum dan SDM. Biasanya untuk itu terpaksa dicari-cari tolak ukur
prestasi yang dapat digunakan, misalnya tanggal penyesesaian proyek/tugas.
Selain itu, untuk pekerjaan tertentu seperti oprator dalam indrusti proses dan
jabatan administratif pada tingkat terendah
mungkin sulit mambuat sasaran-sasaran kerja perorangan yang dapat ditetapkan
secara kualitatif.
6.
dapat
terjadi “kolusi” antara atasan dan
bawahan dalam menetapkan sasaran. Pernah dan sering diketahui bahwa untuk
menolong bawahannya sendiri agar tidak mendapat nilai jelek, atasan membiarkanya
menetapkan sasaran-sasaran yang ringan atau tidak berbobot. Hal ini sering
terjadi terutama bila penetapan sasaran terlalu dilepaskan kepada setiap
jajaran tanpa ada koordinasi dari pimpinan yang lebih tinggi.
7.
diperlukan
latihan dan bimbingan yang sangat
intensif bagi semua yang akan terlibat dari mulai cara menetapan sasaran kerja
dan membuat perencanaan kerja sampai dengan cara konseling. Banyak contoh dan kejadian bahwa
perusahaan menciptakan manajemen kinerja berbasis sasaran kerja individu (SKI)
lengkap dengan panduan tertulis dan formulir penilainnya, tetapi kemudian
setelah beberapa tahun ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan, dan
kata-kata mencemooh program ini sudah mulai terdengar dari para manajer lini.
Semua masalah tersebut sebenarnya dapat dihindari bila penerapannya dimulai dengan
pelatihan-pelatihan yang intensif yang disusul dengan program sosialisasi dan
bimbingan.
Beberapa
variasi dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Mengingat banyaknya kendala dan kemungkinan penyalahgunaan
dalam penerapannya, dalam praktek penerapan sistem MBS ini dapat ditemukan
secara berbeda-beda. Perbedaan tersebut
berkisar mulai dari formalisasi atau stukturisasi caranya dalam suatu
organisasi tertentu sampai taraf mana bawahan diijinkan untuk menentukan
sasaran mereka sendiri. Beberapa jenis variasinya dapat disebutkan
dibawah ini:
·
MBS
diterapkan dengan cara sangat informal.
Seperti kita ketahui, bahwa MBS seringkali diterapkan sebagai suatu
sistem manajemen yang sangat formal dengan penjadwalan yang tepat dan
formulir-formulir khusus yang digunakan
untuk menyajikan tujuan dan standar untuk dinilai/dievaluasi. Tetapi kemudian
lebih banyak perusahaan yang meninggalkan cara yang sangat formal dan kaku tersebut.
Mungkin juga bahwa MBS masih tetap dilaksanakan secara formal sampai pada
tahapan menetapkan sasaran dan rencana kerja, tetapi pertemuan untuk melakukan
penilaian secara regular apakah tiap kwartal, semester atau setiap akhir tahun
sering kali dilaksanakan secara informal saja.
·
Ada
kebebasan anak buah dalam menetapkan sasarannya sendiri. Dalam hal ini ada
beberapa fackor yang mempengaruhi. Pertama, dalam kasus dimana jenis pekerjaan
yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi harus persis mengikuti apa yang
digariskan (misalnya industri khusus – reaktor nuklir), maka hampir semua
karyawan hanya mengikuti apa yang digariskan oleh pimpinannya. Di pihak lain, dalam organisasi yang justru
tergantung pada kreativitas orang-orangnya,
kebebasan yang sangat besar diberikan pada semua orang untuk menetapkan
tujuan masing-masing selama semua mengarahan pada dan mendukung tercapainya
tujuan organisasi yang utama (misalnya industri teknologi informasi).
·
Hasil
kerja siapa yang diukur. Hal ini berkaitan dengan hambatan dari penerapan
sistem MBS di Negara-negara seperti Indonesia, yaitu bahwa orang Indonesia
masih cenderung kuat rasa kolektivismenya dan lebih suka menetapkan sasaran
kerja untuk kelompok, bukan untuk sendiri-sendiri. Untuk menerobos hambatan
tersebut, manajemen dapat mengambil “keuntungan” dari budaya kolektif dengan
meminta kelompok untuk menetapkan sasaran kerja yang ingin mereka capai,
misalnya dalam hal efisiensi kerja dan produktifitas. Oleh karena itu cara ini
biasanya digunakan untuk menjadi dasar dalam pembagian bonus yang dikaitkan
dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi.
·
Pemberian
skorsing. Mengingat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dalam sstem MBS yang berbentuk penggunaan
segala cara yang mungkin tidak halal banyak perusahaan beranggapan bahwa bila
penilaian semata mata didasarkan pada hasil (result) dapat menimbulkan dua
bahaya:
1.
karyawan
yang sangat ambisius dan mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk menonjol
dan maju sendiri akan dijangkiti obsesi yang berlebiahan terhadap pencapaian
hasil, sehingga kalau perlu mengorbankan teman atau anak buah.
2.
focus/
perhatian/ minat karyawan sangat terikat dengan pencapaian hasil dalam jangka
pendek (maksimum 1 tahun) sehingga mereka akan mengabaikan program-program
jangka panjang yang mungkin sangat penting.
Berdasarkan pertimbangan
tersebut banyak perusahaan masih tetap menekankan pentingnya memberi nilai pada
“cara” atau “proses” bagaimana hasil tersebut
dicapai, yang sebenarnya merupakan “input” yang didayagunakan untuk
memperoleh “output” yang ditargetkan. Sistem Manajemen Kinerja yang digunakan
masih tetap menyisihkan score atau point untuk factor-faktor tersebut, yang
dalam beberapa perusahaan disebut “ kompensasi”, misalnya kerjasama dalam team,
hubungan antar pribadi dan sebagainya. Hasil akhir biasanya score dibagi menjadi
dua bagian antara 65%-70% untuk pencapaian sasaran (hasil) dan 30-35% untuk
faktor-faktor kualitatif yang disebutkan tersebut. Faktor-faktor yang
umum digunakan sebagai komponen
kualitatif adalah:
1. Technical
Knowledge (pengetahuan tentang aspek teknis dari pekerjaannya sendiri).
2. Kompensasi
Manajerial (Misal: objectives/target setting, planning, organizing, dll., bagi
yang memiliki jabatan manajerial saja).
3.
Keterampilan
Komunikasi (prestasi, negoisasi dll.).
4. Resourcefullness(kreativitas,
inisiatif, dan inovasi).
5.
Kemampuan
untuk mrnyemangati bawahan untuk berprestasi tinggi secara konsisten(bagi yang
memimpin sejumlah orang).
6.
Kemampuan
Hubungan Antar Pribadi (kemauan dan keterampilan).
7.
Kerjasama
dalam team (kemauan dan keterampilannya)
8.
Ketaatan
pada “Sistem nilai” (kode etik/ prinsip-prinsip berusaha yang diterapkan
perusahaan.
Setiap faktor tersebut harus di buat
tingkatan-tingkatannya, apakah antara 1
sampai 10 atau A(untuk terbaik) sampai E (terburuk)dan kemudian di buat
definisi/penjelasn untuk tingkatan tersebut.